Senin, 07 Oktober 2013

Mental Pengemis, Siapa yang Disalahkan?


         oleh; Muthi Azizah Faza C
Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk yang tinggi dengan angka kepadatan penduduk yang tinggi pula. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 setelah Amerika Serikat. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan jika tahun ini penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun. "Tahun 2013 diperkirakan penduduk Indonesia capai 250 juta," kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN Sudibyo Alimoeso (http://health.liputan6.com).


Mata pencaharian penduduk Indonesia pun beragam, namun dari banyaknya penduduk di Indonesia, tidak sedikit yang bermata pencaharian sebagai pengemis. Pengemis atau biasa disebut gepeng ini menyumbang hampir 10% dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2011 jumlah penduduk Indonesia adalah 259 juta, sedangkan diantaranya sebanyak 194.908 bermata pencaharian sebagai pengemis. Pengemis ini datang dari kota itu sendiri maupun dari para pendatang. Ironis memang, namun apa yang menyebabkan banyaknya jumlah pengemis di Indonesia yang bahkan meningkat setiap tahunnya? Tentu  para pengemis tidak akan melakukan pekerjaan tersebut tanpa adanya faktor penyebab. Tidak mengherankan jika tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mencari nafkah sebagai pengemis, penghasilan yang cukup menjajikan menjadi daya tarik tersendiri ditengah-tengah kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Dalam sehari, penghasilan pengemis dapat mencapai Rp 500.000,00 yang jika dijumlahkan dalam sebulan dapat mencapai Rp 15.000.000,00 (http://kompas.com). Sungguh menggiurkan, dengan  hanya diam  dan  memperlihatkan wajah memelas sambil menengadahkan tangan dapat menghasilkan uang yang lebih besar dari seorang pegawai kantor. Pemerintah seakan-akan tidak peduli dengan banyaknya pengemis di Indonesia, tidak berupaya untuk memberantas ataupun mencari solusi untuk menguranginya. Mental bangsa yang hanya mau menerima tanpa usaha ini bukanlah kesalahan dari satu elemen saja atau menyalahkan mereka sebagai pelaku, namun tak luput dari peran pemerintah yang kurang, atau bahkan pemerintah sendiri mendukung mental bangsa yang seperti pengemis ini.


Pada  tahun 2013, pemerintah meluncurkan program yang diberi nama Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), tidak asing memang, karena sebelumnya pemerintah telah meluncurkan program yang sama namun diberi nama Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pemerintah berharap dengan adanya program baru tersebut, tingkat kemiskinan di Indonesia dapat berkurang. Namun, apakah benar program tersebut terlaksana sesuai dengan yang diharapkan? Menurut pengamatan saya selama ini tentang program yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan yang kian meningkat, hal ini merupakan suatu kemunduran karena seolah-olah pemerintah sendiri yang mengajarkan mental pengemis kepada bangsa indonesia. Memang benar BLSM ditujukkan untuk orang-orang kurang mampu, namun kenyataannya bisa dibilang BLSM tak terkoordinir dengan baik. Dari berbagai pemberitaan media massa, terungkap data masyarakat miskin kacau. Banyak pihak yang semestinya tidak berhak menerima, justru diberikan BLSM. Sedangkan yang berhak menerima, malah luput dari kartu BLSM (http://okezone.com). Masyarakat berlomba-lomba mendapatkan BLSM , bahkan golongan mampu mendominasi antrean BLSM. Siapa yang menolak jika diberi uang dengan gratisan? Masyarakat yang kurang mampu menjadi malas untuk mencari pekerjaan karena berpikir bahwa uang dari pemerintah sudah mencukupi kehidupan mereka. Jadi, benarkah pemerintah mendukung mental bangsa yang hanya tau menerima saja tanpa adanya sumber daya manusia yang baik?


Menyalahkan tanpa adanya solusi tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak perlu saling menyalahkan karena yang dibutuhkan saat ini adalah upaya dan tindakan yang nyata untuk Indonesia, dan siapakah yang harus mengambil peran untuk memberantas mental bangsa layaknya pengemis ini? Seluruh bangsa Indonesia lah yang menjadi tokoh utama untuk mengambil peran tersebut. Seluruh elemen memiliki peran penting untuk mempebaiki mental ini, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan kondisi yang baik sehingga menjadikan mental bangsa yang gigih dan bekerja keras. Pemerintah harus mengawasi dan bertindak tegas terhadap pengemis yang jumlahnya terbilang banyak ini, sanksi tidak hanya diberikan kepada para gepeng saja, namun masyarakat yang memberipun harus diberi sanksi yang tegas pula. Peraturan  bukanlah formalitas belaka yang hanya ‘menganggur’ karena diabaikan seolah-olah tidak berlaku, melainkan sebuah peraturan yang aktif dan memiliki sanksi yang tegas bila ada yang melanggarnya. Warga yang melihat seseorang memberi atau menerima pun harus melapor pada pihak yang berwenang, disinilah kerja sama tiap elemen dibutuhkan. Program pemerintah yang selama ini memberikan bantuan uang dengan cuma-cuma juga harus diperbaharui, tidak hanya asal memberi bagi yang berstatus tidak mampu, tetapi memberi arahan dan memgawasi untuk apa uang itu digunakan dan apa yang masyarakat peroleh dari bantuan tersebut. Mungkin memberi uang bukanlah solusi satu-satunya, memberi pendidikan dan pelatihan khusus untuk meningkatkan sumber daya manusia bagi masyarakat tidak mampu dapat mendidik, mengajarkan, dan menjadikan masyarakat yang bekerja keras sehingga dapat meningkatkan sumber daya manusia. Jadi, siapkah masyarakat Indonesia bekerja sama untuk merubah mental bangsa yang seperi pengemis ini?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar